Kisah Yang Cepat Untuk Cinta Yang Tepat

Kerlingan mata cincin di jemariku, entah mengapa selalu terlihat manis tanpa madu. Bahkan tidak bosan kupandang selalu. Tak jarang, sunggingan senyum malu-malu terlukis diwajahku ketika mengingat kisah dibalik pemberianmu waktu itu.
....
Traffic light berwarna merah masih menunjukkan angka 31, terpaksa aku harus menghentikan motorku dan menunggu. Kulirik arlojiku, semakin cemas dan khawatir karena kelas sore kali ini di mulai pukul 15:30 tepat, dengan Pak Hendra dosen kampus ku yang killer habis. Ditambah gerimis hadir menjadi pelengkap perjalanan ku ke kampus. Sengaja ku terjang, ku fikir toh hanya gerimis. Air yang di bawanya sedikit menembus baju merahku, dingin. Ku lihat Pak Sarwiji, satpam kampus paling  ramah sedang berpayung di depan gerbang kampus , melihat ke arahku lalu melemparkan seberkas senyuman, aku balas pula. Ku parkirkan motorku, lalu bergegas menuju kelas.
“Alhamdulillah, belum telat” gumamku dalam hati sambil menengok dari jendela luar kelas.
Langsung saja aku ambil posisi duduk paling depan, memang itu kebiasaanku. Bukan untuk caper ke dosen. Duduk di belakang banyak gangguan. Bukankah begitu? Saling ngobrol,  asik dengan handphone. Jadi nggak konsen sama mata kuliah, yakan?. Lebih aman  di depan agar lebih bisa fokus, suara dosen pun jelas.
Kelas sore kali ini di akhiri pukul 17:00. Sengaja aku tidak berpaling, tetap duduk di bangku ku, tidak pindah bangku maupun keluar kelas.  Mengipas ngipas bajuku berharap cepat kering, dan menunggu hujan reda. Di kelas hanya tinggal aku yang sibuk dengan baju basahku. Kemudian, Jessi dan Maya yang asik dengan gadgetnya. Lalu, yang di pojok kelas dia Sandy, temanku yang begitu hobi nyanyi nyanyi sendiri dengan handsfree andalannya. Pula, Putra yang daritadi hmm.. entah akunya yang ge er apa memang dari tadi Putra memperhatikan aku. Nggak mau ambil pusing, aku acuhkan saja.
...
Suatu hari, saat jam pulang kuliah perutku terasa sangat lapar. Karena memang tadi di rumah Bunda baru sakit, dan sengaja tidak masak.
“Jess, May kantin yuk! Laper”, ajakku.
“Aku masih kenyang, Sher. Tadi...”, balas Maya. “Kamu duluan aja, kalo mau nanti kami nyusul kok”, potong Jessi.
Seperti biasa, aku putuskan ke kantin Mbok Darmi sendirian. Sambil lingak-linguk ke kelas kelas yang aku lewati. Jalan arah ke kantin Mbok Darmi memang harus melewati lorong kelas. Agak remang, tidak seperti biasa. Mungkin ada salah satu lampu yang di matikan, fikirku. Aku akui, memang aku takut gelap. Waspadaku tampak meningkat. Tiba tiba aku mendengar suara alaskaki di belakang ku. “Srek.. Srekk.. Srek..”,  sepertinya ada yang mengikutiku. Aku percepat langkahku. Cepat, dan semakin cepat. Dan, akhirnya sampai. Mbok Darmi yang duduk di depan warung  tampak cemas  melihat aku gugup tak berujung. Kemudian dari kejauhan Si Mbok menanyai ku akan kecemasannya. Aku menjelaskan, dengan tatapan tampak ketakutan ke arah Mbok Darmi. Dengan sedikit cengiran Si Mbok mengarahkan jari telunjuknya menuju lorong di belakangku, disusul dengan gelak  tawa.
“Astaghfirullah, Putra! Kamu itu. Kalo jalan di belakang itu nyapa kek apa gimana kek, nggak diem aja. Ku kira tadi apa. Orang tadi sepi, agak gelap, berasa ada yang ngikutin kan jadi takut”, celotehku. Sedikitpun Putra tak menggubris, hanya geleng-geleng melihat aku memarahinya. Sambil menata nafas dan detak yang dari tadi semakin cepat karena ketakutan, aku mengambil posisi duduk.
“Mbok, sebagai permitaan maaf ku ke Sheril. Es Teh dua, Soto dua ya, Mbok. Nanti aku yang bayar”, kata Putra. Sambil mengambil posisi duduk agak berjauhan denganku, dua bangku di sampingku.
...
Memang akhir-akhir ini Putra terlihat agak aneh di mataku. Daritadi juga sedikit ku lihat, di tampak heran kepada kebiasaanku. Dia tampak sedang memperhatikan aku yang sedang mengoreksi setumpuk kertas pekerjaan para santri TPQ yang ku ajar setiap Rabu dan Jum’at sore. Ingin aku tanya tapi aku canggung juga. Hingga akhirnya lamunan Putra pecah ketika Si Mbok menyodorkan pesanannya.Ku letakkan bolpen ku, ku bereskan lagi pekerjaan ku. Kemudian bersantap ria, dan sedikit berbincang tentang dosen kami tadi. Memang Pak Hendra sangatlayak di perbincangkan di kalangan mahasiswa/i seperti kami.
...
“Sher, ke Mbok Darmi yuk? Makan gitu?” ajak Putra.
Seketika aku ingin mengiyakan ajakan Putra. Akan tetapi sedikit tertahan oleh fikiran ku. Seketika pula lidah ku kelu. Entah harus aku jawab iya atau tidak. Bukankah kita berbeda jenis. Putra laki-laki dan aku perempuan. Harusnya kan kita tidak sering- sering pergi berdua meski hanya ke Mbok Darmi sekalipun. Seharusnya kita pula menjaga jarak, bukan? Teragak lama aku menolak ajakan putra, dengan alasan ada banyak  yang harus ku kerjakan, bohong besar!. Mendengar jawabanku Putra tertunduk, kemudian pergi. Aku merasa tidak enak, entahlah apa yang akan difikirkan Putra saat kutolak ajakannya.  Ajakannya terulang di hari hari selanjutnya, terulang pula tolakanku. Akan tetapi sekali duakali aku mengiyakan, asalkan tidak hanya berdua, dengan teman temanku juga misalnya.
...
Sayup lembut angin membawaku lebih dalam kepada bacaanku. Dengan secangkir kopi panas kuseruput pelan, semakin tentram saja materinya. Duduk di kursi ini, masih di warung Si Mbok, di dekat pohon beringin rindang ini, selalu dan sangat tampak favorit untukku. Senyum sapa Si Mbok pelepas penatku, entah aku merasa Mbok dekat sekali denganku. Dari ujung, aku lihat seorang pria yang sering aku tolak ajakanya. Iya, dia Putra. Semakin dekat, ia menuju ke arahku. Menyapa, tetapi tak bersalaman. Nampaknya, sedikit dia tahu kebiasaanku yang tak mau besalaman yang bukan mahram. Mengambil duduk di depanku, seketika simbok mempersilahkan, lalu pergi meningaalkan kami.
“Sheryl, akhir akhir ini kamu selalu menolak ajakanku, kenapa? Apakah kamu kurang suka dengan attitude-ku?” Aku diam, putra juga diam.”Yang mana? Apa? Jujur, Sher. Aku menaruh hati. Malah lebih berharap aku mau kamu, Sheryl, menjadi pendampingku kelak”, lanjutnya.  Putra membuka bicara sambil menatapku tajam. Seketika pula aku menundukkan pandangan, aku tak siap dengan pertanyaan serius seperti ini. Putra pria yang baik, sopan, rajin, taat beribadah,  tidak neko-neko, aku tahu.
“Kita masing masing harus di sibukkan dahulu dengan saling memantaskan diri. In Sya Allah, menaruh hati dengan siapapun tak masalah. Kamu baik, aku tahu. Tetap menunggulah dalam diam, cobalah menantinya dalam taat, menyebutnya dalam doa. Aku begini karena inigin menghindarkan kita dari perbuatan mendekati zina –pacaran. Aku harap kamu paham. Juga suksesmu dunia akhirat lebih penting nampaknya, daripada mencari pendamping yang didahulukan. Kamu pahamkan, Put?”. Entah itu kode dari putra atau bukan. Aku akan tetap serius dengan kuliahku, tanpa terlalu memikirkan Putra dengan kata katanya.
...
Akhir akhir ini kami semua akan disibukkan dengan skripsi masing-masing.  Dengan kata kata semampuku ucap dulu, semoga Putra tahu maksudku.
Bulan demi bulan berlanjut, skripsi yang memekakkan kepala, mulai menghatui setiap hariku. Selalu terfikir dimana saja. Hampir - hampir hariku  ku habiskan di depan laptop, merevisi kata, kalimat, bahkan paragraf. Hati hati, teliti, hingga mata memerah mengantuk tak tertahan. Belum lagi  ketakutan saat bendelan skripsi yang aku buat di tolak. Ya Allah, permudahlah. Doa demi doa selalu ku panjatkan, saat menulis, sholat, bahkan beranjak ke kampus. Mudah mudah bendelan skripsi yang kupikir sudah luar biasa ini, dapat menumbuhkan sepenggal senyum di depan dosen penguji itu.
...
Wisuda! Yosh, memang inilah waktu yang ditunggu tunggu setiap mahasiswa. Semua mahasiswa terlihat rapi dan anggun dengan pakaiannya masing masing. Terlihat benar benar siap kali ini, siap untuk masa depan masing masing. Ini merupakan sebuah perpisahan, namun bukan akhir dari perkenalan, hanya saja bagian dari langkah pencapaian. Aku masih bersama Jessi dan Maya teman angkatanku. Begitu bahagianya mereka terlihat dari pipi mereka yang memerah sebab olesan Blush On yang sempurna bak delima siap santap ditambah sunggingan senyum mereka berdua, ohh meneduhkan. Aku tahu putra cumlaude waktu itu, betapa bangga orangtuanya yang turut hadir kala itu. Sedikit hujan mengalir tanpa duga tak sadar menggenang bak danau sejenak di mata. Segera aku bereskan make up ku, sambil mengeluarkan kaca dan tisu yang sengaja aku siapkan. Aku terkagum, bangga, tetapi tak berlebih, karena kita tahu bukan, segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Saat itu pula, selesai prosesi wisuda, Putra menyodorkan seikat bunga mawar merah, terangkai begitu anggun. Tanpa banyak kata ia berlalu. Mungkin ini sebagai ucapan wisuda untukku. Aku fikir itu adalah saat terakhir bertemu putra, aku kira memang terakhir, dan tidak ada pertemuan lagi. Karena aku dengannya hanya teman angkatan, chattingpun memang jarang, terlebih akhir akhir ini. Jarang, boleh disebut tidak pernah.
...
Selepas dikaruniai gelar Sarjana. Dengan sesegera mungkin aku mencari pekerjaan yang memang aku berkompeten di dalamnya. Entah, karena suatu kebetulan atau karena memang kuasa Tuhan. Aku diterima menjadi bagian penting perusahaan. Betapa bersyukurnya daku sebagai orang baru, mereka mempercayaiku. Hari hariku terlampaui biasa saja, rekan kerja yang baik, atasan yang ramah, pekerjaan yang relatif memayahkan, hah tapi hanya terkadang. Tapi aku suka disini. Umurku bertambah, kian tahun makin bertambah. Dan rasanya aku masih istiqamah saja dengan kesendirianku, yang setiap hari hanya sibuk memikirkan tugas kantorku. Tak jarang orangtuaku berniat menjodohkan diriku. Deegg! Pertama kali mereka bilang seperti itu aku kaget, susah payah aku menolaknya, dan memang aku menolak dahulu. Aku ingin sibuk dengan pekerjaanku. Dua, tiga, empat kali mereka bilang begitu lagi, hah aku tidak sekaget dulu lagi. Tidak! Bukan karena aku tidak suka dengan siapapun itu akan di kenalkan kepadaku, hanya saja jika terlalu cepat aku kurang suka. Nanti ada kalanya aku siap, dan orang itu akan datang, secepanya, dan setepatnya.
Lima kali Maret selepas widusa. Tanpa ku duga dia datang. Putra, ternyata dia tidak melupakan aku begitu saja,  ia masih menyimpan emailku  dalam kurun waktu selama ini. Datang tanpa permisi hanya uluk salam pengantar surat elektroniknya. Dan sepertinya memang dia sudah terlebih dahulu menghubungi ayah dan ibuku, sebelum aku tahu.

Assalamu’alaikum
Ukhti Sheryl. Afwan, mengganggu sejenak. Putra sudah siap dan mantap kali ini Sher bertemu orangtuamu. Apakah diijinkan? Maaf jika ini tiba tiba. Tapi sepertinya orangtuamu sudah menjawab pertanyaanku terlewat lebih dahulu  sebelum kamu menjawabnya. Secepatnya aku datang. Semoga engkau siap dan mantap, seperti niatku.”
Salam hangat,
Putra Adentya

Iya kini Putra datang, datang membawa terkabulkannya permintaanku sewaktu itu dikantin Si Mbok Darmi. Tak sekedar datang mengajakku ngantin, jajan,makan, apalagi shopping kali ini. Dia datang, benar benar datang. Membawa orang tuanya menemuiku serta orangtuaku, seakan tak percaya aku melihat semua ini. Putra menceritakan siapa dia, darimana mengenalku, proses pertemanan kita, serta bagaimana caraku menolak ajakan Putra waktu kita sama sama masih kuliah di tempat yang sama. Di penghujung cerita ia menyampaikan ketertarikannya, bagaimana ia harus mendekati aku yang apabila didekati malah menjauh. Dia memohon kepada ayah dan ibuku akan meminang aku sebagai istrinya. Mata ayah dan ibu langsung tertuju padaku, menumpahkan semua putusan seakan ada padaku. Aku mengangguk pelan.
Mata ayah terbelalak heran “Bagaimana mungkin kau menolak beberapa, dan putusan terakhir kau layangkan pada sosok Putra?”
“Aku mantap, Ayah. Sheryl siap. Mungkin ini adalah yang kumaksud secepatnya, dan secepatnya. In Sya Allah” kujawab tanpa ragu.
...
Sekitar 49 hari setelah prosesi itu selesai.
“Saahhh.. Sah! Saaah!!” Singkat ungkapan mereka. Kupikir, mengapa kata singkat ini tidak dari dulu saja. Inilah hari dimana tanganku pertama kalinya dijabat oleh lelaki asing, yang sebelumnya aku menjaganya, benar benar aku jaga agar sepenuhnya dijabat oleh siapapun yang memilikiku. Ini nervous yang benar luarbiasa, lebih nervous daripada saat sidang skripsi mungkin. Aku tertunduk diantara bahagia dan malu yang datang bersama. Ku kerahkan telapakku, Putra memasang cincin tanda jalinan pada jari manisku. Inilah Ijab Qabul.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kuatkan