Kuatkan

Sinar sang fajar mulai menyentuh hangat wajahku. Cahayanya terpancar menembus jilbab panjangku yang terurai. Kicau burung burung nyaring terdengar, menghibur kami kala berada di persawahan waktu itu. Sayup- sayup hembusan angin terus terasa. Padi-padi di sawah menari–nari menyambut petani, menunduk keberatan buih, seakan siap di untuk di nikmati. Hmm, iya ini musim panen.
...
Liburan kali ini kami memilih untuk pulang ke rumah mertua, yakni orang tua suamiku, Mas Fatan. Tentunya bersama Husna pula. Berjalan di jalan setapak dekat persawahan memang cukup menyegarkan. Ternyata tak hanya kami bertiga yang menikmati indahnya persawahan pagi itu. Anak- anak dari para tetangga mertua pun banyak yang berlarian, bermain main, berkejar- kejaran. Husna pun ikut hanyut dalam keriangan mereka. Sementara itu tangan kami yang tadinya menggandeng Husna, kini tangan Mas Fatan beralih menggandeng ku.

Melihat keriangan Husna di tengah anak- anak itu. Seketika aku teringat masa lalu yang sampai kini pun masih teringat. Ku tatap Mas Fatan, yang bertubuh tinggi tegap berdiri di sampingku. Bibir ini ingin berucap, sambil mata berkaca kaca kucoba membendung, tetapi tak tertahan.

“Mas, maaf nggeh. Aku nggak..” belum selesai bicara Mas Fatan memotong bicara ku, seakan dia langsung faham dan peka akan apa yang aku ingin katakan.

“Dek.. Nggak usah di bahas. Kamu itu! Udah to, kan sekarang sudah ada Husna. Husna itu juga anak kamu. Udah- udahh. Jangan sampai Husna lihat Bunda nya nangis kaya gini” kata Mas Fatan, kemudian mengajakku duduk di rerumputan jalan sawah.

Ya, Husna memang bukan sepenuhnya anakku. Dan aku pun bukan wanita satu-satunya yang pernah dipersunting Mas Fatan.

Lima tahun lalu aku divonis oleh dokter, harus mengidap penyakit rahim setelah dua kali aku keguguran janin yang aku kandung. Pernyataan orang yang berseragam putih-putih itu sangat memekakkan telingaku, ini sama sekali tidak pernah ingin aku dengar. Adalah ketika ia berucap bahwa aku tidak bisa mengandung janin lagi.

Kau tahu, berbulan-bulan akuu tidak baik-baik saja, begitu juga suami, mertua, dan orang tua ku. Keluarga mana yang tak menginginkan kehadiran malaikat kecil pasca terjadinya pernikahan? Iya, ini bukanlah pertanyaan yang musti dijawab. Aku hanya sepersekian orang yang belum beruntung dititipi oleh-Nya.

Berkali-kali risau menghampiriku, langkahku gontai. Ke-belum ikhlasanku kadang mengutuk diri, menyalahkan diri yang tidak bisa menghadiahkan buah hati untuk suami dan keluarga. Bahkan, saking berkecamuknya hari-hari itu, aku kembali ketakutan apabila suamiku, Mas Fatan menikah lagi. Aku tidak rela.

"Ndhuk, keadaan kita seperti ini. Misal nanti Fatan ingin menikah lagi, sepertinya kamu harus legowo, inget itu malah sunnah Kanjeng Rasulullah. Bukan apa-apa, jikalau jalan menikah lagi itu terbaik membuat orangtua Fatan dan kita senang, bilang ke Fatan monggo... Karena kita belum bisa memberikan hadiah terbaik kan? " tutur Ibuku, lima bulan setelah dari rumah sakit.

Bagaimana ikhlas bisa aku temui, usia pernikahanku saja belum genap dua tahun. Sungguh aku tidak siap jika saja Mas Fatan meminta ijin kepadaku untuk hal itu. Aku was-was, ini bisikan syaithan. Aku terlalu was-was.

......

Suara Jeep Mas Fatan menderu terparkir di garasi. Kuletakkan sapu, kusandarkan di sofa ruang tamu. Bergegas meraih handle pintu dan seperti biasa menyambut hangat suamiku.

Kali ini Mas Fatan tidak langsung mengganti pakaian, duduk di sofa dan mengeluarkan laptopnya, mungkin ada tugas kantor yang penting dan harus segera dituntaskan. Aku kembali meraih gagang sapu yang sedari tadi kusandarkan.

.....

 "Mas Rasul itu istrinya nggak hanya satu kok ya" ucapku tiba-tiba

Mas Fatan mematung diposisinya, masih dengan seragam kantor menatapku heran. Mungkin karena ia bingung dan entah, kenapa aku tiba-tiba berbicara seperti ini. Aku beranikan diri berbincang dengan Mas Fatan perihal poligami dalam islam atau kebolehan suami beristri lebih dari satu. Berkali-kali Mas Fatan menjawab dan menatapku bingung. Dia tidak yakin, berkali-kali pula menolak penyataan siapku , mungkin dipikirnya istrinya ini sedang dalam kantuk dan ngelindur. Tetapi tidak, aku dalam keadaan sadar. Seratus persen sadar.

“Nggak, Mas. Mas Fatan mampu secara fisik, materi, pula sanggup juga kok perihal kasih, aku faham. Aku ikhlas lillahi ta’ala, kok. Demi keluarga dan orangtua kita, Mas. Aku tahu kok Mas Fatan sebetulnya juga pengen kan gendong anak sendiri? Iya kan Mas? Akupun iya, Mas. Sekalinya nanti Mas Fatan tak adil aku janji bakal menjadi orang pertama yang negur Mas Fatan. In Sya Allah” ucapku meyakinkan
...
Beberapa bulan kemudian Mas Fatan menikah dengan janda muda yang sama sekali belum punya anak. Jelita, sopan, dan jilbabnya selalu terulur rapi. Dialah bagian baru dari keluarga kecil kami, Fatma.

Pernah hati, aku tidak ikhlas ketika melihat Mas Fatan berbincang hangat berdua dengan Fatma. Tapi aku singkirkan semua itu. Yakin hati itu tadi hanya bisikan-bisikan syaitan yang membujukku. Tidak perlu.

Mas Fatan tidak kurang membagi kasih antara kedua istrinya, sama-sama dibahagiakan, sama sama pula dimanjakan. Dengan Fatma, Mas Fatan hanya di karuniai seorang anak. Aku bisa lihat raut kegembiraan yang luar biasa ketika Mas Fatan mendengar tangisan pertama bayinya yang baru lahir dari kamar bersalin  Fatma.

Seketika pula, raut wajah girangnya terganti dengan datar tak tertera, setelah dokter pelan pelan membisikinya. Entah apa pula yang dibisikkan dokter. Seakan ada sesuatu yang tak diduga terjadi. Perawat pun aku lihat tampak cemas dan panik, serta mondar-mandir mengambil dan membawa alat-alat yang tak sewajarnya di siapkan untuk ibu pasca bersalin. Memang aku tidak tahu pasti karena aku belum pernah mengalami, tetapi sedikit aku tahu dari kajian pranikah oleh Ustadzah Zahra yang berprofesi sebagai Bidan Puskesmas kala itu.

“Bukan kah itu alat...  Ada apa, Ya Allah. Apa yang sebenarnya terjadi. Agstaghfirullah” gumamku dalam hati.

Ingin sekali rasanya menanyakan kepada Mas Fatan yang sedari tadi berdiri gugup, apa daya aku tidak berani. Raut cemasnya begitu terlihat. Setengah jam sudah kami menunggu di depan pintu ruang bersalin. Lalu dokter keluar dan mengatakan hal yang tidak kami sangka- sangka.

Mas Fatan terduduk lemah di kursi lorong ruang rawat. Aku kira hanya akan ada bahagia, bahagia, dan bahagia di awal pernikahan Mas Fatan bersama Fatma kali ini. Sayangnya cobaan Allah harus terjadi disini.

Dengan ikhlas, Mas Fatan harus merelakan kepergian Fatma, yang menghembuskan nafas terakirnya saat melahirkan anak satu satunya, Husna. Itu terjadi di usia pernikahan Mas Fatan dan Fatma yang baru menginjak satu tahun.

Ya, memang. Husna bukanlah anak kandungku melainkan anak dari saudariku, Fatma. Tak sampai hati ketika melihat Husna sewaktu masih bayi mungil, tubuhnya masih memerah, kulitnya masih sangat lembut, belum tahu apa-apa sudah harus di tinggal Fatma, ibunya.

“Ini cobaan untuk keluarga kita, Dek. Tapi kita harus selalu ber-husnudzon pada sang Khalik. Allah memberikan ini semua untuk menguji seberapa tegar dan sabarnya kita. Dan mungkin Allah membalasnya dengan memberi kebahagiaan hadirnya malaikat kecil ini lewat  Fatma” kata Mas Fatan pelan sambil mengelus pipi Husna yang ketika itu usianya masih bayi satu hari sedang tertidur lelap di gendonganku.

.....

Sekarang usia Husna sudah menginjak 7 tahun. Dan sampai sekarang pun ia belum tahu, bahwasaya aku bukanlah ibu kandungnya. Mungkin belum waktunya. Meski bukan sepenuhnya anak ku, aku tetap seorang ibu bagi Husna. Aku amat sangat sayang dengan Husna, begitu pula Mas Fatan.Mas Fatan selalu menguatkan ku, ketika aku larut dalam sedih ku mengingat kenyataan pada diriku. Bersyukur ya rabb, aku di beri suami tabah, ta’at dan sempurna di mata ku, semoga pula di hadapan-Mu.

“Bund, ayo pulang. Tadi Husna ngejar bebek sama temen temen terus sekarang bebeknya udah lari Bund, jauuuuuhhh kesanaaa itu” suara Husna yang menyadarkan ku dari lamunan, sembari tangan nya masih menunjuk ke arah apa yang di bicarakannya.

“Lihat, Bund. Baju Husna kotor, jangan di marahi yan Bund- Yah?” sambungnya. Kami hanya tersenyum, sembari berjalan pulang sambil menggandeng tangan mungil Husna dengan bahagianya di kala sang surya mulai menerikkan panasnya.

Ya Allah, senantiasa berkahilah keluarga kecil hamba. Teruskanlah suami hamba, Mas Fatan mencintai dan menyayangi keluarganya. Lapangkanlah rezekinya, jauhkanlah dari kadzib dan dusta kami pula. Ridhoilah perkataan dan perbuatan kami dan selalu rahmati sabar kami. Dan kuatkan hamba atas kenyataan hamba, kuatkan hamba untuk menerima semuanya. Kuatkan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Yang Cepat Untuk Cinta Yang Tepat